Adalah Anto Srianto, lelaki asal Surabaya, yang menggeluti
penangkaran burung hantu. Pemilik Tekno Tani ini menjalin kerja sama
dengan Paguyuban Pusat Pelayanan Agen Hayati (BPAH) Mojopahit,
Mojokerto, Jawa Timur. Ia melatih burung ini untuk memburu tikus-tikus
yang menjadi musuh petani.
“Saya hanya menjual burung hantu dewasa, usia delapan bulan,” kata Anto, seperti dikutip peluangusaha.kontan.co.id. Jenis burung hantu yang dibudidayakannya adalah barn owl (Tyto alba), dengan harga jual Rp 3,5 juta untuk pembeli di Jawa dan Rp 7,5 juta untuk luar Jawa (sudah termasuk ongkir).
Setiap pembeli akan mendapat sepasang burung hantu (jantan dan
betina). Mereka juga mendapat pelatihan singkat mengenai cara perawatan
atau pemeliharaan burung hantu.
Entah mengapa burung ini dinamakan burung hantu. Bisa jadi karena
hanya muncul di malam hari. Atau, karena mitos bahwa jika kita mendengar
suara burung hantu, maka itu merupakan pertanda datangnya hantu. Suara
burung hantu, bagi sebagian orang, memang bisa membuat bulu kuduk merinding.
Burung hantu memiliki beberapa spesies, yang
berasal dari dua famili yaitu Tytonidae dan Strigidae, dengan beberapa
genus. Adapun genus yang banyak dijumpai di Indonesia adalah Tyto, Otus,
dan Ninox. Genus Tyto memiliki spesies bernama barn owl (Tyto alba), seperti yang dibudidayakan Anto Sriyanto.
Lain Anto, lain pula Agus Suwarto. Pemilik Roemah Satwa ini membudidayakan Tyto alba bukan
untuk membasmi tikus dan ular, tapi sebagai burung hias. Meski kesan
menyeramkan masih terlihat, burung ini sebenarnya unik dan eksotik.
Terbukti banyak kolektor yang berminat.
Jeli Melihat Peluang
Burung hantu kini menjadi andalan untuk pemberantasan
binatang-binatang pengganggu sawah, terutama tikus dan ular. Tidak
mengherankan jika Dinas Pertanian dan Perkebunan di sejumlah pemerintah
kabupaten dan provinsi terus memasyarakatkan penggunaan burung hantu
sebagai predator alami. Misalnya Pemkab Sleman, Demak, dan Jombang,
serta Pemprov Jateng dan Jatim.
Anto dengan jeli menangkap peluang itu. “Satu pasang burung hantu Tyto alba
beserta anak-anaknya bisa memakan 10 ekor tikus per hari. Sebenarnya
burung ini mempunyai insting untuk membunuh hingga 30 ekor tikus per
hari,” kata Anto.
Omzet penjualannya bisa mencapai Rp 20 juta hingga Rp 50 juta per
bulan. Pembelinya pun datang dari berbagai daerah di Indonesia. “Saya
baru saja mengirim burung hantu ke Kendal, Gorontalo, Lampung dan
Kalimantan. Kalimantan beli tujuh pasang untuk pengendalian tikus di
perkebunan kelapa sawit,” tutur Anto.
Kalau Anto hanya menjual burung hantu dewasa (umur 8 bulan), Agus
justru menjualnya pada usia sangat muda: 2 bulan. Harganya pun jauh
lebih murah, rata-rata Rp 250.000 / ekor. Omzet penjualannya mencapai Rp
3 juta / bulan.
Budidaya burung hantu dapat dilakukan dengan membeli sepasang induk
di pasaran. Burung ini dikenal setia terhadap pasangannya. Induk betina
hanya mengalami dua kali periode peneluran dalam setahun. Setiap periode
peneluran bisa menghasilkan 6-12 butir telur, dengan daya tetas
mencapai 90%. Artinya, dari 10 telur yang dierami, sembilan diantaranya
akan menetas.
Untuk memudahkan perawatan, kata Anto Srianto, anak burung yang baru
menetas jangan dipisahkan dulu dari indukannya. Biarkan indukan yang
membesarkan. Untuk itu, perlu dibuatkan kandang agak besar, dengan
panjang 90 cm, lebar 60 cm, dan tinggi 40 cm. Adapun pintu memiliki
panjang 13 cm dan lebar 13 cm,” jelasnya.
Satu kandang hanya diisi sepasang induk dewasa. Sebab burung hantu
tidak mau berbagi kandang dengan pasangan lain. Mereka pasti akan
bertengkar. Anak yang menetas dipelihara dalam kandang yang sama. Ketika
usianya sudah mencapai empat bulan, anakan bisa dilatih mencari makan
sendiri.
“Sebelum berusia empat bulan, kebutuhan pakan
buat anak burung ini dipenuhi oleh indukannya sendiri. Induk mencari
makan untuk anaknya dengan berburu tikus di sawah. Karena itu,
sebaiknya lokasi tempat budidaya dekat dengan sawah atau kebun,” kata
Anto.
Jangkauan berburu burung ini bisa mencapai 12 kilometer (km) dari
sangkarnya. Ia akan kembali ke kandang dengan membawa hasil tangkapan ke
sangkar. Jadi sejak kecil, anak burung hantu sudah makan
daging-dagingan.
Sebagai patokan, sepasang induk dan anak-anaknya rata-rata
menghabiskan 10 ekor tikus per hari. Apabila jumlah tikus hasil berburu
alami kurang, Anto akan memberikan tikus putih sebagai pakan tambahan.
Burung hantu akan berburu selepas maghrib dan tertidur setelah makan.
Menurut Anto, kandang harus dibuat sangat rapat, sehingga burung yang
tertidur di siang hari tidak terganggu sinar matahari. Sinar matahari
tidak boleh masuk kandang, karena mereka tak akan kerasan tinggal di
kandang. Itu sebabnya, burung ini hanya keluar di malam hari.
Agus Suwarto juga kerap menambahkan menu lain untuk burung hantu,
yaitu usus ayam yang dicacah-cacah. Pakan diberikan dua kali dalam
sehari. Dengan jumlah pakan yang cukup, burung hantu akan tumbuh dengan
baik.
“Burung hantu rentan terkena virus yang juga menyerang ayam. Makanya,
jika di sekitar kandang burung hantu ada ayam yang sakit, maka
kemungkinan besar burung hantu juga akan terjangkiti penyakit sama,”
ujar Agus.
Anda tertarik mengikuti jejak Anto dan Agus?
sumber : http://omkicau.com/2012/11/02/meraup-untung-dari-penangkaran-burung-hantu/
|
-visit us: @Mr_ikky and Friends- |
Tuesday, 5 May 2015
Meraup untung dari penangkaran burung hantu
Labels:
Burung Hantu,
celepuk
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment