Serangan hama tikus (Rattus argentiventer)
di Desa Tlogoweru (juga di kawasan pedesaan lainnya) sudah berlangsung
selama puluhan tahun dan mengakibatkan kerugian jutaan rupiah per
hektare sawah.
Perlawanan petani terhadap serangan tikus pun sudah berlangsung lama,
bahkan di Tlogoweru sudah dimulai sejak dekade 1960-an. Namun hasilnya
tak kunjung menggembirakan. Bahkan sejak awal 1980-an, hama padi dan
jagung itu makin menggila. Populasinya berkembang pesat, mengingat daya
reproduksinya yang luar biasa, di sisi lain tikus-tikus seperti tak
mempan oleh tindakan penangkalan dalam bentuk apapun.
Bayangkan sepasang tikus dalam setahun sudah bisa membangun dinasti
baru dengan populasi mencapai 2.048 ekor, di mulai dari 6 ekor anakan,
36 ekor cucu, 216 ekor cicit, dan seterusnya. Setiap tahun, setiap
pasang bisa bereproduksi hingga enam kali.
Tikus dikenal sebagai pencuri ulung. Mereka umumnya bergerilya
mencari makanan di malam hari, ketika para petani sudah beristirahat
mengurus sawahnya. Tak peduli apakah tanaman padi dan jagung masih muda,
atau menjelang panen, kawanan tikus lebih sering menjalankan aksinya di
malam hari.
Masyarakat Desa Tlogoweru yang mempunyai pola tanam padi – padi –
jagung sebenarnya sudah berputus asa karena selalu kesulitan dalam
menghentikan populasi tikus. Kerusakan tanaman akibat hama tikus pun
mencapai 60 – 100 %.
Peningkatan hasil panen
Harapan petani mulai membuncah, ketika di desa itu mulai dibangun
Karantina Tyto Alba, sekitar 18 bulan lalu. Karantina yang merupakan
pusat penangkaran burung hantu itu dibangun dari hasil swadaya masyarakat melalui kelompok tani masing-masing.
Burung hasil karantina kemudian disebar ke sekitar 70 rumah burung
hantu (rubuha), yang juga dibangun warga desa dan ditempatkan di tengah
areal persawahan dengan tugas memburu tikus di malam hari.
Total dana yang dikeluarkan untuk membangun Pusat Karantina, dan
biaya operasional lainnya, yang dihimpun Gabungan Kelompok Kani
(Gapoktan) mencapai Rp 87,525 juta, atau rata-rata Rp 689.000 per
hektare sawah.
Angka tersebut memang besar kalau melihat penghasilan petani di
Tlogoweru yang cenderung pas-pasan. Tetapi kesadaran tinggi mereka
membuahkan hasil yang sangat memuaskan. Dalam setahun, mereka mengalami
kenaikan pendapatan dari hasil dua kali panen padi dan sekali panen
jagung. Jika dirata-rata, peningkatan pendapatan dari setiap hektare
sawah mencapai Rp 46,2 juta: sebuah angka yang sangat fantastis.
Jadi, modal awal penangkaran burung hantu yang semula “hanya” Rp
87,525 juta, pada akhirnya mampu meningkatkan pendapatan petani hingga
Rp 10,395 miliar dalam satu tahun. Detail analisis ekonominya bisa
dilihat pada tabel berikut ini:
Pengendalian hama tikus dengan predator burung hantu terbukti sangat
effektif. Burung hantu merupakan burung malam dengan penglihatan tajam.
Setiap kali ronda malam, seekor Tyto alba mampu memangsa 3 ekor tikus.
Kini burung yang memiliki bulu berlapis lilin itu menjadi penyelamat bagi para petani setempat. Menurut Om Joem, dalam satu tahun, setiap pasangan Tyto alba mampu memangsa sekitar 7.200 ekor.
Bagi desa-desa yang masih bermasalah dengan serangan hama tikus,
silakan berguru langsung ke Desa Tlogoweru, Kecamatan Guntur, Kabupaten
Demak. Semoga bermanfaat!
sumber : http://omkicau.com/2012/12/17/manfaat-ekonomi-penangkaran-burung-hantu-studi-kasus-di-tlogoweru-demak/
copyright : omkicau.com
|
-visit us: @Mr_ikky and Friends- |
Tuesday, 5 May 2015
Manfaat ekonomi penangkaran burung hantu: Studi kasus di Tlogoweru Demak
Labels:
Burung Hantu,
celepuk
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment